Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) adalah salah satu
kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak memberi
pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja,
Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
Sulawesi. Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya” dan wijaya
berarti “kemenangan”.
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7;
seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi
Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua
mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan
Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya
terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa
peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa
di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari
Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali
kerajaan Dharmasraya.
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi
Sriwijaya baru diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis
George Cœdès dari École française d’Extrême-Orient.
Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana
asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai
Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès
mempublikasikan penemuannya dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia.
Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap “San-fo-ts’i”,
sebelumnya dibaca “Sribhoja”, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno
merujuk pada kekaisaran yang sama.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar
Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua
kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk
menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum
kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa
menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts’i atau San Fo Qi. Dalam
bahasa Sansekerta dan Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan
Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit
ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang
adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan
berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit
Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan
sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya
terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai
ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu
tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia
cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat
bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi
Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah
perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan
dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja
Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa)
tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou
(Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara
Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I,
berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram
(Kedah sekarang).
Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim,
namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah
kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk
populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih
memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain
itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya,
namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung
oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu
setempat.
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing,
dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini
di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa
mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi
bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang
yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini
telah menguasai bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung,
hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa
telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang
tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan
runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa
Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya
tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat
Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan
Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.
Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di
Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur
Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk
mencegah hal tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan
ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai
Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya
meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II,
pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya di abad
yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain
Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut
catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah
dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu
menjadi bagian kerajaan. Di masa berikutnya, Pan Pan dan
Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada
di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa
pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang
ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi
lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama
masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang
selesai pada tahun 825.
Agama dan Budaya
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak
peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta
dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam
perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan
695, serta di abad ke-11, Atisha, seorang sarjana Buddha asal Benggala
yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet. I Tsing
melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga
menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yang datang ke
pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir
kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha
Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya
Hindu kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari
kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta
mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar
pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para
pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan
yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi
cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat
melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang
banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri
Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan
kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya
terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali
raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah
satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720M) berisi permintaan agar khalifah sudi mengirimkan da’i ke
istana Sriwijaya.
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan
antara India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka
dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka
komoditi seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga,
gading, emas, dan timah yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di
India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli
kesetiaan dari vassal-vassalnya di seluruh Asia Tenggara.
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan
naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak,
terutama Fujian, kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong, kerajaan Nan
Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini.
Relasi dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia
Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China,
dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya.
Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani,
Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh
Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya
Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga
kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada
prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan
dinasti Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden
disebutkan raja Sriwijaya telah membangun sebuah vihara yang dinamakan
dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra
Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11. Kemudian
hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana
raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta
dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara
Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya
dianggap telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik
Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai
raja San-fo-ts’i membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun
1079, pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan nama Tien Ching
Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
Masa keemasan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan
hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran,
jalur perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis
sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal
dagang, memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan
kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya
telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia
Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand,
Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat
Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah
dan perdagangan lokal yang mengenakan biaya atas setiap kapal yang
lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang
perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di
Jawa, dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya
yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji
Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya,
pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja
Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Penurunan
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di
Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang
Sriwijya, berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola
telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil
menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu. Selama beberapa dekade
berikutnya seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh
dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan
peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama
tetap tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita
utusan San-fo-ts’i ke Cina tahun 1028.
Antara tahun 1079 – 1088, kronik Tionghoa mencatat bahwa San-fo-ts’i
masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina
yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada
tahun 1082 mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan
Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja
Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang
diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil
perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimankan
utusan berikutnya di tahun 1088. Namun akibat invasi Rajendra Chola I,
hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah
taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan
baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai
dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada
tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara
terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts’i dan
Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama
Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts’i memeluk Budha, dan
memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja),
Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi,
Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka),
Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu),
Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t’ing
(Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts’ien-mai (Semawe,
pantai timur semenanjung malaya), Pa-t’a (Sungai Paka, pantai timur
Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong
(Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t’o (Sunda).
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi
identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya,
dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar
jajahan kerajaan Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut
San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan.
Hal ini karena dalam Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan
Kertanagara raja Singhasari mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau
Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja
Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya
sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini
kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi.
Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan tentang daerah
jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya
untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas
politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung
informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan
bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini
hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang
mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat
dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat
vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua
ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut
Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua,
yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat
bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan
otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan
Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan
dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra
mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris
berikutnya). Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan
dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya.
Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan
terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali
kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah
membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya,
berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan
bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan
Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau
Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan
nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang,
provinsi Sumatera Selatan. Bagi penduduk Palembang, keluhuran Sriwijaya
telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian
tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi
masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai
(Sriwijaya) yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai
nama jalan di berbagai kota, dan nama ini telah melekat dengan kota
Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya yang didirikan
tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya.
Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk
Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat
kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai
penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club
(Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati,
memuliakan, dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya.
Solusi yang tepat jangan anda putus asah...AKI akan membantu
BalasHapusanda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
butuh NOMOR 2D ,4D, 6D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub:KI JAYA DI NO: [[[085-321-606-847]]]
ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D
ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND
ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D
DAN PESUGIHAN TUYUL